Pengalaman perkembangan pelecehan seksual anak dan pemerkosa (2019)

Penyalahgunaan Anak Negl. 2008 May;32(5):549-60. doi: 10.1016/j.chiabu.2007.03.027.

Simons DA1, Wurtele SK, Durham RL.

Abstrak

TUJUAN:

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengalaman perkembangan berbeda yang terkait dengan pelecehan seksual anak dan pemerkosaan.

METODE:

Untuk pelanggar seksual 269 (pemerkosa 137 dan pelanggar seksual anak 132), pengalaman perkembangan dicatat dari daftar perilaku, survei ikatan orang tua, dan kuesioner riwayat seksual. Klasifikasi pelaku diperoleh dari catatan resmi dan diverifikasi melalui pemeriksaan poligraf.

HASIL:

Dibandingkan dengan pemerkosa, pelaku pelecehan seksual anak melaporkan lebih sering mengalami pelecehan seksual terhadap anak (73%), paparan awal terhadap pornografi (65% sebelum usia 10), suatu awal masturbasi (60% sebelum usia 11), dan aktivitas seksual dengan hewan (38%). Berbeda dengan pelecehan seksual anak, pemerkosa melaporkan lebih sering mengalami pelecehan fisik (68%), kekerasan orang tua (78%), pelecehan emosional (70%), dan kekejaman terhadap hewan (68%). Baik pelaku pelecehan seksual anak dan pemerkosa (> 93%) melaporkan seringnya terpapar media kekerasan selama masa kanak-kanak mereka. Sebagian besar pelanggar (94%) dijelaskan memiliki ikatan lampiran orang tua yang tidak aman; 76% pemerkosa melaporkan keterikatan orang tua yang menghindar dan 62% dari pelaku pelecehan seksual anak-anak melaporkan keterikatan orang tua yang gelisah.

KESIMPULAN:

Temuan dari penelitian ini mendukung peran pengalaman perkembangan spesifik sebagai faktor etiologis dalam pelanggaran seksual yang berbeda. Sejarah perkembangan pelaku pelecehan seksual terhadap anak ditandai dengan meningkatnya seksualitas; sedangkan sejarah masa kecil pemerkosa lebih menunjukkan kekerasan. Temuan ini memiliki implikasi untuk pengobatan pelecehan seksual dan pencegahan pelecehan seksual.

IMPLIKASI PRAKTEK:

Temuan studi ini menunjukkan bahwa pelaku seksual telah disosialisasikan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan keintiman dan seksualitas melalui cara-cara maladaptif, yang menyiratkan bahwa pendekatan manajemen risiko mungkin tidak cukup untuk pengobatan. Meskipun model risiko mengajarkan keterampilan pelanggar untuk menghindari situasi berisiko tinggi, model tersebut gagal untuk menangani strategi maladaptif yang mungkin telah mereka kembangkan untuk memenuhi kebutuhan. Sebaliknya, fokus pengobatan harus melengkapi pelaku dengan pengetahuan, keterampilan, dan peluang untuk mencapai kebutuhan ini dengan cara yang dapat diterima. Dengan demikian, model ini akan memberikan individu-individu ini kesempatan untuk hidup sehat tanpa adanya pelanggaran seksual.

PMID: 18511118

DOI: 10.1016 / j.chiabu.2007.03.027