Pengaruh Paparan Pornografi pada Remaja SLTP Pontianak di 2008 (2010)

Diterjemahkan dari Malaysia

Hubs-Asia 9, no. 2 (2010).

Euis Supriati, Sandra Fikawati

Abstrak

Remaja adalah kelompok yang rentan dalam bidang kesehatan reproduksi. Periode ini ditandai oleh keinginan kuat untuk mencoba dan mengeksplorasi hal-hal baru. Pornografi adalah media yang dapat mempengaruhi remaja terhadap perilaku seksual berisiko tinggi. Paparan terhadap materi pornografi merupakan masalah serius di kalangan remaja karena dapat berdampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual dan HIV-AIDS. Studi cross-sectional ini dilakukan untuk memahami berbagai jenis paparan pornografi, efek dari paparan pornografi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi efek tersebut.

Studi dilakukan di lima sekolah menengah pertama negeri di Kabupaten Pontianak di 2008 dengan responden 395 dari Desember 2007 hingga Januari 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa 83.3% remaja telah terpapar pornografi dan 79.5% dari mereka telah mengalami efek dari paparan pornografi.

19.8% responden yang mengalami efek pornografi berada dalam tahap kecanduan. 69.2% responden dari mereka yang dalam tahap kecanduan berada dalam tahap eskalasi. 61.1% responden dari tahap eskalasi berada pada tahap desensitisasi, dan 31.8% responden dari desensitisasi berada pada tahap tindakan. Analisis multivariat menunjukkan bahwa ada empat variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan efek pajanan pornografi, yaitu jenis kelamin (pria), kelas di sekolah (ketiga), lama pajanan (baru) dan frekuensi pajanan (sering).

Analisis juga menunjukkan bahwa frekuensi pornografi (sering) adalah faktor yang paling dominan terkait dengan pengaruh paparan pornografi di kalangan remaja dengan Odds Ratio 5.02 (95% CI: 1.39-18.09). Disarankan untuk memberikan informasi secara profesional dan ditargetkan kepada kelompok yang tepat; untuk meningkatkan upaya pencegahan melalui kolaborasi di dalam sekolah, dan untuk belajar lebih lanjut untuk menyelaraskan secara positif mereka yang berada di tahap bertindak.

Kata kunci: remaja, efek pajanan, pornografi

BAGIAN DISKUSI

Analisis dan Interpretasi Data Penelitian ini menemukan sebanyak 83.3% remaja SMPN di Kota Pontianak telah terpapar dengan pornografi. Dari remaja SMPN yang terpapar pornografi sebanyak 79.5% di antaranya telah mengalami efek paparan pornografi. Sesuai Teori Pembelajaran Sosial dapat dijelaskan bahwa pornografi dapat mempengaruhi remaja dan hasrat seksual remaja dapat mempelajari tentang seksualitas dari pengamatan yang digambarkan oleh berbagai media (Schramm & Roberts, 1971). Dengan terperinci, remaja akan mengamati mekanisme perilaku seksual, di samping itu remaja juga belajar tentang konteks di mana perilaku ini terjadi motivasi dan niat di balik interaksi serta konsekuensi bagi mereka yang berinteraksi dalam perilaku tersebut. Pesan-pesan yang disembunyikan di media pornografi mungkin menjadi kuat ketika remaja menjadi tertarik, digambarkan dengan penuh kekuatan, diperlakukan dengan cara-cara alternatif atau menampilkan karakter yang dapat dikenali sebagai seorang remaja.

Pornografi bertujuan untuk merangsang hasrat seksual seseorang, maka efek yang terjadi adalah perilaku perilaku yang mengarah pada peningkatan stimulasi seksual pada remaja itu sendiri. Hal ini selaras dengan Teori Stimulus menurut Zillmann (1982), di Thornburgh dan Herbert (2002) terutama berfokus pada efek langsung, di mana pornografi dapat menghasilkan stimulasi fisiologis dan emosional (aktivasi sistem saraf dibandingkan dengan stimulasi seksual) , dan peningkatan level stimulasi kemungkinan akan menghasilkan beberapa bentuk perilaku. Selain itu media cetak seperti majalah, buku, stensil berisi gambar-gambar yang biasa menstimulasi “Pornografi” atau sering disebut juga Sexually Explicit Materials (SEM), dapat menimbulkan imajinasi dan ternyata imajinasi dua kali lebih merangsang dari gambar biasa (Teenage Stories Indonesia,
2001).

Efek dari paparan pornografi adalah suatu bentuk hasil akhir dari komunikasi yang ingin disampaikan oleh pesan-pesan pornografi. Perubahan sikap, perilaku, dan pendapat remaja tentang pornografi merupakan bentuk efek yang terjadi terkait dengan pendapat pribadi remaja terhadap pornografi. Menurut Modeling Theories seseorang secara otomatis akan berempati dengan perasaan orang yang dia amati dan akan meniru perilakunya (Widjaja, 2000). Pengaruh pajanan terhadap pornografi bukan hanya pengetahuan pornografi saja tetapi itu terjadi juga pada aspek afektif dan bahkan kecenderungan berperilaku. Pornografi dapat mempengaruhi remaja untuk melakukan perilaku membentuk, secara sadar atau tidak sadar, telah mengubah persepsi dan bahkan perilaku kehidupan remaja setiap hari terutama dalam hal seksualitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 52 (19.78%) siswa SMP di Kota Pontianak telah mengalami efek paparan pornografi terhadap kecanduan panggung. Cline (1986) menyebutkan bahwa begitu seseorang menyukai materi pornografi maka ia akan kecanduan dan akan berusaha bahkan ingin selalu mendapatkan materi tersebut. Materi pornografi terlihat memberikan kekuatan rangsangan seksual atau efek afrodisiak (zat yang merangsang nafsu), diikuti oleh pelepasan nafsu / seks, lebih sering melalui masturbasi. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa dampak pada pengamat yang terjadi adalah fasilitasi respons, di mana perilaku yang diinginkan akan meningkat dalam frekuensi (Bandura, 1971 di Thornburgh dan Herbert, 2002).

Perubahan sikap atau perilaku selanjutnya adalah eskalasi. Hasil penelitian menunjukkan 36 orang (69.2%) dari remaja 52 yang kecanduan tahap eskalasi / peningkatan kebutuhan. Setelah sekian lama mengkonsumsi pornografi, remaja yang doyan akan mengalami peningkatan kebutuhan akan materi seks yang lebih berat, lebih eksplisit, lebih sensasional dan lebih menyimpang dari yang dikonsumsi sebelumnya.. Peningkatan permintaan ini bukan dari segi kuantitas tetapi terutama kualitasnya yang semakin eksplisit, maka akan lebih memuaskan. Jika sebelumnya dia sudah cukup puas menonton gambar seorang wanita telanjang, maka ingin melihat film yang berisi adegan seks. Setelah jenuh, ia ingin melihat adegan bercinta yang berbeda yang terkadang lebih liar dan menyimpang dari yang pernah dilihatnya. Juga sesuai dengan hasil penelitian Zillman & Bryant (1982, dalam Thornburgh & Herbert, 2002) yang menyatakan bahwa ketika seseorang terpapar pornografi secara berulang maka mereka akan menunjukkan kecenderungan persepsi yang terdistorsi tentang seksualitas juga terjadi peningkatan kebutuhan akan lebih banyak pornografi. jenis keras dan terdistorsi.

Tahap desensitisasi berikutnya telah dialami oleh orang-orang 22 (61.11%) remaja dari orang-orang 36 yang mengalami peningkatan tahap. Pada tahap ini, materi seks yang tabu, tidak bermoral dan merendahkan / menghina martabat manusia, secara bertahap dianggap sebagai sesuatu yang dianggap normal yang berarti semakin lama menjadi tidak sensitif lagi.

Dalam penelitian ini terdapat 67% remaja sekolah menengah pertama yang memiliki respons biasa terhadap adegan perilaku orang yang berkencan, 30% terhadap sinetron menunjukkan adegan berciuman di tempat umum, 14% terhadap adegan film perkosaan, bahkan ada 12% SMPN remaja yang berpikir bahwa adegan itu menggambarkan seks dengan anak kecil sebagai hal yang biasa. Hal ini menunjukkan bahwa pornografi yang beredar bebas telah menurunkan persepsi remaja SMP pada norma-norma yang ada. Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian Zillman & Bryant (1982, dalam Thornburgh & Herbert, 2002) yang menyatakan bahwa ketika seseorang berulang kali terpapar pornografi akan menunjukkan peningkatan ketidakpekaan terhadap perempuan, cenderung menganggap pemerkosaan sebagai minor. Kejahatan, cenderung memiliki persepsi yang menyimpang dari seksualitas dan cenderung kehilangan kepercayaan pada institusi perkawinan.

Hasil penelitian ini lebih lanjut ditemukan dari orang-orang 22 dalam tahap desensitisasi ada sebanyak orang-orang 7 (31.8%) berada dalam tahap actout. Pada tahap ini ada kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku seksual seperti pornografi yang telah dia tonton untuk kehidupan nyata. Remaja sekolah menengah pertama pada tahap remaja awal mengalami dorongan seks yang cukup besar. Dorongan seksual adalah setiap kebutuhan dasar individu, pada masa remaja dengan perkembangan hormon pertumbuhan, fase mementingkan diri sendiri, serta rasa penasaran yang tinggi membuat remaja menjadikan pornografi sebagai media untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Paparan pornografi memicu remaja untuk melakukan dorongan seks seperti itu dalam kondisi nyata.

Besarnya efek paparan pornografi yang terjadi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan analisis bivariat (chi square) diperoleh faktor-faktor yang berhubungan dengan efek pajanan adalah jenis kelamin, kelas, waktu pemaparan, frekuensi pemaparan dan jenis media. Berdasarkan hasil analisis multivariat diperoleh bahwa faktor dominan yang mempengaruhi pengaruh paparan pornografi adalah jenis kelamin, kelas, paparan waktu, dan frekuensi paparan. Dalam penelitian ini tampak bahwa remaja laki-laki terpapar risiko pornografi 1.98 kali (95% CI: 1.08-3.63) dibandingkan dengan remaja perempuan. Perbedaan efek paparan yang terjadi pada remaja pria SMPN dan wanita ini adalah karena perbedaan gairah seksual yang mengarah pada peningkatan libido yang terjadi. Libido atau nafsu adalah keinginan untuk tubuh lawan jenis dengan tujuan akhir berhubungan seks. Pusat libido terletak di korteks serebral, pada saat timbulnya libido ini ada perbedaan nyata antara pria dan wanita. Pada pria lebih mudah terangsang dan orgasme lebih cepat ketika ada rangsangan, baik rangsangan fisik maupun rangsangan psikis, sedangkan pada wanita libido lebih lambat dalam penampilan (Widjaja, 2000). Begitu juga menurut teori biologis yang mencoba menjelaskan bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan sistem saraf pusat. Pria hormon (testosteron) diyakini sebagai pembawa sifat agresif di mana pada pria ada lebih banyak testosteron (Widjaja, 2000). Sebagian besar seks dimulai dengan agresivitas remaja pria dan kemudian anak remajanya menentukan sejauh mana agresivitas pria tersebut dapat dipenuhi. Kondisi hormonal menyebabkan remaja terutama remaja laki-laki menjadi lebih sensitif terhadap stimulan seksual baik dalam bentuk visual, sentuhan atau audio visual seperti dengan membaca bacaan romantis atau melihat gambar romantis, melihat alat seks lawan jenis yang akan mendorong munculnya seksual tingkah laku.

Hasil penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa remaja kelas tiga SMPN yang terpapar pornografi berisiko 2.4 kali (95% CI: 1.26-4,81) mengalami efek pajanan pornografi dibandingkan anak kelas satu. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada masa remaja ketika ditinjau secara biologis hormon seks yaitu androgen dan progesteron akan meningkat, dimulai pada awal masa remaja yaitu usia 11,12,13 tahun dan akan terus meningkat dengan cepat pada usia 14 tahun ke usia 18-19 tahun (Wiknjsastro, et al., 1999). Perilaku seksual manusia terkait dengan fungsi aktivitas hormonal. Hormon ini memainkan peran yang sangat penting dalam memicu terjadinya reaksi berantai hormon tubuh lainnya dan pada akhirnya membiakkan perilaku terkait tertentu dengan stimulasi seksual. Adanya kadar hormon yang berbeda dalam tubuh pra-remaja dimungkinkan terjadinya berbagai efek pajanan terhadap pornografi meskipun bukan satu-satunya karena hal itu juga dapat dikaitkan dengan aspek budaya masyarakat setempat.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin baru waktu terpaan pornografi semakin besar peluangnya untuk terkena efek paparan pornografi. Remaja yang lebih sedikit terpapar pornografi dibandingkan tiga bulan terakhir berisiko 3.1 kali (95% CI: 1.61-5.98) mengalami efek pajanan dibandingkan remaja yang terpapar pornografi selama lebih dari tiga bulan. Kondisi ini disebabkan oleh sesuatu yang baru dan menarik perhatian akan lebih mudah masuk ke dalam rentang perhatian seseorang dan akan mempengaruhi proses mekanisme penyimpanan ingatan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Selain itu dalam penelitian ini ditemukan bahwa semakin sering remaja terpapar pornografi maka semakin besar pula efek pemaparan yang terjadi.

Dalam penelitian ini frekuensi terpaan pornografi merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi pengaruh terpaan pornografi. Remaja yang sering terpapar pornografi (lebih atau sama sekali dalam seminggu) berisiko 5.0 kali (95% CI: 1.39-18.09) mengalami efek pajanan dibandingkan dengan remaja yang frekuensi pajanannya jarang (kurang dari sekali dalam sebulan). Kondisi ini sesuai dengan teori persepsi yang menyatakan bahwa pengulangan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rangsangan memasuki rentang perhatian kita. Pornografi bagi remaja merupakan sesuatu yang baru dan sangat menarik perhatian. Lebih menarik informasi media pornografi semakin banyak pengulangan informasi seksualitas yang terjadi. Selain itu juga bentuk pengaruh paparan yang paling sering dialami remaja dalam penelitian ini adalah adiksi (addiction). Seseorang yang ketagihan tentunya berkaitan dengan kenaikan terutama dari segi jumlah atau frekuensi pemaparannya. Jika seseorang terlalu sering terpapar pornografi, maka ia akan cepat terangsang untuk melakukan tindakan nyata. Dalam bahasa sehari-hari dapat dikatakan bahwa ketahanan seseorang akan “rusak” jika terus menerus diperlakukan pornografi (Sarwono, 1999). Ketika seseorang mengkonsumsi MMSM (Content Highlighting Sex in the Media) sesekali, dampaknya tidak akan terlalu besar, yang akan menjadi masalah ketika seseorang didorong untuk terus menerus mengkonsumsi MMSM, yang akan meningkatkan dorongan untuk menyalurkan hasrat seks menjadi besar ( Young Stories Indonesia, 2001).

Hasil analisis bivariat (chi square) menunjukkan bahwa remaja SMPN yang terpapar pornografi melalui media cetak dan elektronik berisiko 4.21 kali lebih besar untuk mengalami efek paparan pornografi dibandingkan remaja SMP yang terpapar pornografi hanya melalui media cetak saja. Media massa (media elektronik atau media cetak) memiliki kemampuan untuk menyebarkan pesan kepada banyak orang di berbagai tempat dan menjadi sumber kekuatan sehingga dimanfaatkan berbagai pihak untuk memanfaatkannya (Rivers & Jensen, 2003).

 

Wibowo (2004) menyatakan bahwa media massa elektronik dan media cetak berperan tidak kecil dalam fantasi seksual remaja, karena informasi ini selain memperluas cakrawala dan pengetahuan juga membawa nilai-nilai informasi negara asal. Rachmat (1995) juga menyatakan bahwa media cetak seperti majalah, buku, stensil yang berisi gambar-gambar stimulan konvensional yang disebut “pornografi”, atau sering disebut juga SEM (Sexually Explicit Materials), dapat menimbulkan imajinasi dan ternyata imajinasi itu dua kali lebih merangsang. dari gambar biasa. Media pornografi atau SEM atau erotika, bahan-bahan erotis dalam televisi, film, majalah, buku yang merangsang gairah seksual, merusak nilai-nilai moral, mendorong orang-orang gila seks atau mempromosikan pemerkosaan (Tan, 1981 dalam Bungin, 2001).

Sesuai dengan Teori Pembelajaran Sosial, Bandura (1971 dalam Tornburg & Lin, 2002) menyatakan bahwa remaja dapat belajar tentang seksualitas melalui observasi yang dijelaskan melalui media. Pesan tersembunyi di media yang merangsang nafsu akan menjadi kuat ketika peserta menjadi tertarik, digambarkan sebagai hal yang penuh kekuatan, disajikan dengan beberapa alternatif jalur tindakan atau penyajian karakter yang diidentifikasi sebagai remaja.

Kehadiran media komunikasi seperti ponsel yang dimiliki hampir setiap orang, termasuk remaja, di samping memberi juga memberi keuntungan
dampak negatif. Ponsel dapat menjadi ajang pertukaran informasi dengan saling mengirim SMS / MMS beserta gambar-gambar porno yang tidak layak ditonton. Perkembangan lainnya adalah melalui internet yang telah begitu luas dan bebas diakses oleh remaja. Ini memudahkan remaja untuk mendapatkannya paparan pornografi dengan cara yang mudah, murah dan mudah
pribadi. Sebaliknya sangat sulit bagi orang tua untuk menjaga anak remajanya terpapar pornografi. Dalam laporan BKKBN (2004), hasil penelitian Yayasan dan Buah Hati kami (2007) menyebutkan bahwa 80% anak-anak berusia 9-12 tahun di wilayah Jabodetabek telah mengakses materi pornografi melalui internet. Selain itu, hasil penelitian PKBI (2007) di lima kota yaitu Kupang, Palembang, Singkawang, Cirebon dan Tasikmalaya di 2001 menunjukkan 61.64% responden tidak pernah menggunakan media pornografi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70.59% menggunakan film (VCD), tetapi juga ada yang menggunakan majalah, foto, dan internet.

Kesimpulan

Sebanyak 83.3% remaja SMP di Kota Pontianak telah terpapar pornografi, dan dari yang terpapar sebanyak 79.5% mengalami efek pajanan terhadap pornografi. Remaja yang mengalami efek paparan pornografi sebanyak 19.8% berada dalam tahap kecanduan, dari remaja kecanduan 69.2% berada pada tahap eskalasi, dari mana peningkatan 61.1% berada pada tahap desensitisasi, dan dari desensitisasi 31.8% berada pada tahap bertindak. Faktor dominan yang mempengaruhi pengaruh paparan pornografi di sekolah menengah pertama di Pontianak adalah jenis kelamin (laki-laki), kelas (tiga), waktu pemaparan (baru) dan frekuensi pemaparan (sering). Paparan frekuensi (sering) adalah faktor yang paling banyak.

Saran. Jika sekolah meningkatkan penyediaan informasi yang ditargetkan dan ditargetkan kepada peserta didik laki-laki, terlepas dari siapa perempuan, tentang kesehatan reproduksi khususnya perilaku seksual berisiko pada remaja. Informasi ini harus disampaikan dengan cara yang tepat dan profesional. Program kesehatan reproduksi agar lebih banyak menyentuh upaya pencegahan dan dilaksanakan melalui kerjasama di tingkat sekolah. Misalnya melalui pemberian informasi secara rutin kepada siswa tentang masalah kesehatan reproduksi, serta meningkatkan pemahaman orang tua tentang besarnya dampak media pornografi terhadap masalah kesehatan reproduksi remaja meskipun kemajuan teknologi informasi tidak dapat dihentikan. Perlu penelitian lebih lanjut agar remaja yang sudah terpapar tetap bisa “berakting” secara sehat / tidak berisiko, misalnya dengan menganjurkan onani sebagai penyalur tidak berisiko.